Cara Saya Mempertahankan Pernikahan, Menjadi Ibu dan Demi Anak - Pelara

Cara Saya Mempertahankan Pernikahan, Menjadi Ibu dan Demi Anak

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa saya selalu menggunakan blog dan media sosial sebagai teman untuk berbicara.

Saya pikir mempertahankan pernikahan adalah cara untuk memenuhi kewajiban sebagai anak dan ibu. 

Dan tidak bercerai tidak selalu berarti perempuan yang bodoh dan mengenaskan.

Ya, setidaknya dari perspektif saya.

Untuk memulai, disclaimer harus selalu ada jika membahas masalah pernikahan. Karena fakta bahwa banyak orang secara otomatis terlibat ketika membaca tulisan yang bertentangan dengan pengalaman pribadi mereka sendiri.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, blog ini berfokus pada keluarga, tetapi materinya tidak berasal dari pakarnya. Sebagian besar tulisan yang saya tulis di blog ini berasal dari pengalaman pribadi saya sendiri, yang tentunya diambil dari masalah yang saya hadapi.

Saya menulis di sini untuk berbagi pengalaman saya yang dapat membantu orang tua yang menghadapi masalah yang sama.

Oleh karena itu, apa yang saya tulis di sini didasarkan pada pengalaman pribadi saya dengan masalah tersebut, dan pendapat saya, tentu saja, sama sekali tidak benar secara mutlak.


Cerita Ketika Pernikahan Terlihat Tidak Harmonis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa saya selalu menggunakan blog dan media sosial sebagai teman untuk berbicara. Banyak orang tahu tentang masalah saya, jadi saya berbicara dengan mereka sekali dua kali untuk melepaskan beban saya.

Dan begitulah, tulisan tak bernada—atau, seperti yang dikatakan Lola—saya nulisnya dengan menggunakan "emosi", hahaha. Setiap tulisan curhat saya memiliki daya tarik tersendiri bagi pembaca, sehingga reaksi pembaca kadang-kadang melebihi keadaan sebenarnya saya.

Padahal ya, itu bukan segitunya—pembaca mengira itu segitunya, hahaha.

Intinya, saya juga punya cerita tentang mempertahankan pernikahan di mana tekanan kehidupan membuat kami mulai kehilangan arah dalam menjalani pernikahan kami. 

Saat itu terjadi, tampaknya pernikahan kami tidak lagi memenuhi harapan saya dan mungkin juga si suami.

Kami mulai terbiasa menjalani hari masing-masing karena jalannya yang berbeda, meskipun kami selalu tertarik pada satu jalan karena karena anak-anak.

Bahasanya sangat halus, ya, ckckckck.


Maksud saya, hubungan saya dengan suami saya tidak lagi harmonis, terutama sejak kelahiran anak kedua kami. Meskipun kami juga pernah menghadapi masalah serupa sebelumnya, kami akhirnya dapat memperbaikinya.

Mungkin itu karena tekanan kehidupan yang membuat kami yang ingin menikah baru bisa mencapainya, bahkan sekarang menjadi jalan sendiri-sendiri.

Saya mengalami banyak luka dan tertekan secara mental selama perjalanan sampai saya dapat menulis dengan tenang ini. Itu juga terlihat dalam banyak artikel blog saya dan status Facebook saya.

Karena itu, banyak teman yang menyarankan agar saya cerai saja. Saya takut akan kesehatan mental saya. Selain itu, saya telah berulang kali menyatakan bahwa bercerai tidak sebijaknya dilakukan hanya karena nekat.

Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, apalagi jika niat cerainya adalah untuk membuatnya bahagia. 

Faktanya, bercerai tidak selalu mudah bagi semua orang; itu bukan karena takut menjadi janda. Namun, sebagai bentuk kewajiban saya kepada orang tua dan anak-anak saya.

That's why, untuk saat ini, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya merasa lebih baik karena pernikahan yang sehat. Namun, karena suami saya tidak pernah lagi berbicara tentang meninggalkan pernikahan, saya memutuskan untuk mempertahankan buku nikah.


Jadi, saya tahu bahwa bukan hanya saya yang mempertahankan pernikahan, tetapi juga suami saya. Meskipun dia hanya bertahan, itu hanya begitu, wakakakak. 


Untuk alasan apa sebagai anak dan ibu kita harus mempertahankan pernikahan?

ungkin ada yang bertanya, apa hubungannya bercerai atau bertahan dalam pernikahan dengan tanggung jawab sebagai anak dan ibu. Tentu saja ada hubungannya, karena saya menghormati orang tua saya dengan menjadi anak. Meskipun saya memiliki seluruh hidup saya sendiri, saya mungkin hadir di dunia ini melalui pengaruh orang tua saya.

Apa yang saya lakukan juga akan berdampak pada orang tua. Ibu dan ayahnya akan senang jika saya sukses, tetapi jika saya gagal, mereka juga akan sedih.

Mengorbankan diri demi kebahagiaan orang tua bukanlah satu-satunya pemikiran. Sebaliknya, saya melakukan semua ini sebagai bentuk pengabdian saya kepada orang tua saya, yang belum bisa saya bahagiakan seperti yang mereka harapkan sejak saya kecil.

Selain itu, orang tua saya, terutama ibu saya, akan menjadi tempat saya kembali jika kami bercerai. Selain itu, tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi anak-anak dalam situasi seperti ini. Selain itu, sudah biasa bagi pria untuk bercerai dan tidak menikah lagi.

Di sisi lain, masalahnya dengan "menikah kembali" bukanlah masalah yang signifikan; masalahnya adalah mendapatkan uang untuk anak-anaknya.

Memang benar bahwa rezeki datang dari Allah, tetapi Allah memberi kita pikiran untuk berpikir secara mendalam tentang masa depan kita dan anak-anak kita.

Jika itu terjadi, saya akan menjadi beban bagi ibu saya lagi.

Mama saya yang lebih tua harus menanggung beban pikiran yang dibicarakan, dan dia juga harus membantu membiayai saya dan anak-anak kami.

Ya Tuhan, pikirkan saja saya tidak mampu, karena setelah menikah, saya telah mengecewakan mereka dengan menjadi anak yang tidak dapat diandalkan. Saya tidak akan lagi menambah beban keluarga saya.

Selain itu, pendapat saya tidak hanya pesimis. Ada banyak contoh di masyarakat. Dalam kasus di mana seorang anak perempuan memutuskan untuk bercerai, terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, dan gagal berhubungan dengan orang tuanya karena menjadi tanggung jawab mereka lagi.

Bukan juga masalah ayah yang jahat; namun, mohon maaf, kita telah memberi mereka beban yang berlebihan. Sudah waktunya para orang tua menikmati masa tua mereka dengan tenang dan bahagia.

Selain menjaga nama baik dan ketenangan ortu saya, saya juga ingin membuktikan bahwa saya dapat bertanggung jawab atas semua keputusan yang mereka berikan kepada saya.

Dengan kata lain, orang tua saya biasanya memberikan anak-anak mereka kebebasan seluas-luasnya untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.

Saya memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang saya ingin menikah, dari suku mana, dan agama apa, dan saya tidak dikenakan paksaan oleh siapapun.

Bagaimana bisa ayah saya akhirnya menyerah pada keputusan sendiri setelah mereka memberi saya semua kebebasan dan kerelaan? Apalagi setelah mereka menjadi lebih tua. 

Karena itu, bagi saya, mempertahankan pernikahan adalah tanggung jawab saya sebagai anak kepada orang tua saya. Dan, jika Allah memanjangkan usia dan jodoh saya, saya ingin kembali menikmati pernikahan saya.

Selain itu, sebagai ibu, saya memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa anak-anak saya memiliki kesempatan untuk belajar dan hidup dengan baik. Saat ini, biaya hidup anak-anak sangat bergantung pada papinya. 

Karena waktunya dibagi untuk mengurus anak setiap saat, penghasilan saya sebagai blogger masih belum maksimal, sehingga masih jauh dari cukup untuk membiayai mereka.

Anak-anak dapat hidup dengan tenang bersama saya karena mereka bergantung pada gaji papinya. Saya masih dapat menangani setiap saat, mengantar jemput, dan menemani mereka setiap saat.

Selain itu, karena papinya memberikan bantuan finansial, mereka masih dapat pergi ke sekolah yang cukup baik dan memiliki banyak kesempatan. Anak-anak mungkin tidak merasa seperti saat ini jika hanya saya yang membayar mereka.

Mereka mungkin tidak akan bisa bersama ibunya setiap saat karena ibunya pasti akan bekerja lebih banyak dan tidak akan punya waktu lagi untuk mereka.

Itu tidak.

Menurut pendapat saya, frase "anak butuh ibu yang bahagia" tidak berarti bahwa ibu dan anak harus bercerai. Apakah anak akan tetap bahagia jika ibunya akhirnya tidak punya waktu lebih banyak dengannya seperti sebelumnya? Bagaimana anak bisa bahagia jika dia sebelumnya jarang punya waktu dengan ayahnya dan sekarang malah tidak punya waktu dengan mereka?

Saya menunjukkan cinta dan tanggung jawab saya sebagai ibu kepada anak-anak saya dengan bertahan dalam situasi saat ini. Saya tidak akan merusak kebahagiaan dan kesempatan mereka hanya karena nekat.


Hidup tidak selalu buruk jika Anda masih menikah

Jadi, sampai kapan Anda akan terus mengalami hal yang menyakitkan? Anda selalu khawatir tentang kesehatan mental Anda? Sebenarnya, mempertahankan pernikahan tidak selalu berarti hidup Anda akan penuh dengan kesulitan. Itu tidak benar.

Setidaknya untuk saya, ya. Jika saya hanya ingin hidup tersiksa, saya pasti akan berjuang untuk menghindarinya, hehehe. 

Melawan berarti mencari solusi. Ada opsi lain, yaitu mengembalikan kebahagiaan pernikahan seperti sebelumnya, jika perpisahan tidak atau mungkin tidak terjadi.

Itu sulit karena semua orang harus bekerja sama.

Namun, ini bukan berarti tidak mungkin, kan? 

Itu benar, hanya ada dua pilihan: bertahan atau bercerai. Untuk saat ini, saya tidak akan memilih bercerai, karena saya belum mampu membiayai anak-anak saya sendiri. Selain itu, saya tidak ingin menanggung beban ibu saya karena nekat bercerai dan mengorbankan anak-anak mereka.

Karena itu, saya harus memilih untuk tetap hidup, tetapi harus bahagia, dan itulah tujuan saya.

Dengan Tuhan, saya yakin dia membenci perceraian, meskipun undang-undang mengizinkannya. Tentu saja, niat saya untuk mempertahankan dan mendapatkan kebahagiaan lagi di dalamnya akan dimuliakan oleh Allah.


Ada jalan, insya Allah, jika Allah ridhai. Fokus pada diri sendiri adalah pilihan terbaik.

Ini bukan berarti egois; itu lebih untuk menghindari ekspektasi yang membuat kita tertekan. Selain itu, mengubah diri sendiri menjadi orang yang lebih baik jauh lebih mudah daripada mengubah orang lain, yang tidak dapat kita lakukan.

Setidaknya, itulah tujuan dan solusi saat ini. Yang paling penting adalah bahwa hidup anak-anak tetap terjamin, dan orang tua saya tidak perlu menanggung beban pikiran dan finansial kembali.

Tentu saja, ada saat-saat di mana hal-hal tidak berjalan dengan lancar. Saat-saat tertentu, saya kalah melawan rasa kesal saya atas sikap papinya terhadap anak-anak. Namun, semuanya insya Allah akan terus diperbaiki untuk diri saya sendiri, anak-anak saya, dan ayah saya, yang tinggal bersama mama.

Sebagian besar masyarakat modern menganggap mempertahankan pernikahan sebagai hal yang bodoh oleh feminisme yang tidak masuk akal. 

Meskipun demikian, bertahan dalam pernikahan yang tampaknya tidak harmonis tidak selalu merupakan hal yang buruk. Bertahan berarti mencoba memperbaikinya.

Karena salah satu tanggung jawab saya sebagai ibu dan anak adalah menjaga pernikahan. Dengan kata lain, bertanggung jawab untuk melindungi hati dan perasaan orang tua agar mereka tidak mengalami stres karena digibahin oleh tetangga. 

Dan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak tetap mendapatkan uang papinya untuk hidup. Jika saya memilih untuk bercerai dan papinya menikah lagi dan memiliki keluarga baru, itu bisa menjadi tantangan bagi mereka. 

Itu pendapat saya, ya. Bagaimana dengan Anda, orang tua?


Belum ada Komentar untuk "Cara Saya Mempertahankan Pernikahan, Menjadi Ibu dan Demi Anak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel